April 2025
Di sudut desa yang masih asri, sebuah warung kecil beratap seng dan meja kayu tua menjadi saksi bisu obrolan pagi yang rutin. Dua pria sepuh, Pak Darto dan Pak Kirman, duduk dengan gaya khas: satu kaki selonjor, satu tangan pegang rokok, satunya lagi mangku kopi hitam.

 
"Kopi sekarang gak kayak dulu, Man," celetuk Pak Darto setelah seruput pertama. "Dulu pahitnya tegas. Sekarang pahitnya kayak mantan, nggak jelas!"

Pak Kirman tergelak. "Lha yang minum juga udah gak kayak dulu. Lidahmu udah dipake ngerasain obat tiap hari!"

Mereka tertawa bersamaan, batuk kecil mengikuti tawa mereka, seperti duet yang sudah terlatih puluhan tahun.

"Eh, kamu denger kabar si Parman? Anak bungsunya katanya kerja di Jakarta, di perkantoran besar."

"Iya, katanya kerja di startup. Aku nggak ngerti itu apaan. Tapi dia bilang kerjaannya bisa dari rumah."

"Enak bener. Kita dulu kerja dari pagi sampe sore di sawah, gak ada yang namanya 'work from home'. Kerja dari lumpur iya!"

Pak Darto mengangguk. Matanya menatap langit biru, lalu pelan-pelan berkata, "Tapi enaknya zaman sekarang, cucu-cucu kita pinter semua. Bisa komputer, bisa bahasa Inggris."

"Iyo, tapi kadang aku kangen cucuku ngomong Jawa halus. Sekarang manggil kakeknya aja 'opa'."

Mereka diam sejenak. Warung mulai ramai, tukang sayur dan ibu-ibu pasar mulai berdatangan. Tapi dua lelaki itu tetap di tempatnya, tak terusik.

"Man," kata Pak Darto, "menurutmu kita ini ngapain sih tiap pagi nongkrong di sini? Ngopi sambil nggosipin orang."

"Ngabdi pada negara, To. Jaga stabilitas harga kopi dan gorengan."

Tawa mereka meledak lagi. obrolan mereka tak pernah penting, tapi hal inilah yang menjadi cerita kehidupan.